RSS

Kamis, 11 November 2010

Upacara Kebo-keboan pada Masyarakat Using (Banyuwangi, Jawa Timur)

Pengantar
Banyuwangi adalah salah satu kabupaten yang ada di Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Di sana ada sebuah etnik yang bernama Using[1]. Di kalangan mereka, khususnya yang berdiam di Dusun Krajan, Desa Alasmalang, Kecamatan Singojuruh, ada sebuah upacara tradisional yang sangat erat kaitannya dengan bidang pertanian yang disebut sebagai “Kebo-keboan”.
Maksud diadakannya upacara itu adalah untuk meminta kesuburan tanah, panen melimpah, serta terhindar dari malapetaka baik yang akan menimpa tanaman maupun manusia yang mengerjakannya.
Sejak kapan upacara kebo-keboan diadakan? Sampai kini belum ada yang mengetahuinya secara pasti. Namun, menurut cerita yang berkembang secara turun-temurun di kalangan masyarakat Krajan, kisah dibalik adanya upacara kebo-keboan tersebut berawal ketika Dusun Krajan mengalami pagebluk, yaitu timbulnya berbagai macam hama penyakit yang menyebabkan kematian tanaman pertanian. Untuk mengatasi bencana tersebut, salah seorang tokoh masyarakat setempat yang bernama Buyut Karti mengadakan ritual dengan cara menirukan perilaku seekor kerbau yang sedang membajak sawah. Dan, ternyata ritual tersebut mampu menjadi penghalau dari berbagai macam bencana yang menimpa Dusun Krajan. Akhirnya, ritual yang kemudian dinamakan kebo-keboan itu dilakukan secara rutin setiap tahun sekali.
Waktu, Tempat, Pemimpin dan Pihak-pihak yang Telibat dalam Upacara
Upacara kebo-kebon di Dusun Krajan dilaksanakan satu kali dalam satu tahun yang jatuh pada hari Minggu antara tanggal 1 sampai 10 Sura (tanpa melihat hari pasaran). Dipilihnya hari minggu sebagai hari penyelenggaraan dengan pertimbangan bahwa pada hari tersebut masyarakat sedang tidak bekerja (libur), sehingga dapat mengikuti jalannya upacara. Sedangkan, dipilihnya bulan Sura dengan pertimbangan bahwa Sura, menurut kepercayaan sebagian masyarakat Jawa, adalah bulan yang keramat.
Sebagaimana upacara pada umumnya, upacara kebo-keboan di Krajan juga dilakukan secara bertahap. Tahap-tahap yang harus dilalui dalam upacara ini adalah sebagai berikut: (1) tahap selamatan di Petaunan; (2) tahap ider bumi atau arak-arakan mengelilingi Dusun Krajan; dan (3) tahap ritual kebo-keboan yang dilaksanakan di daerah persawahan Dusun Krajan.
Pemimpin dalam upacara kebo-keboan ini bergantung pada kegiatan atau tahap yang dilakukan. Pada tahap selamatan di Petaunan, yang bertindak sebagai pemimpin upacara adalah kepala Dusun Krajan. Sedangkan, yang bertindak sebagai pemimpin upacara saat mengadakan ritual ider bumi dan kebo-keboan adalah seorang pawang yang dianggap sebagai orang yang ahli dalam memanggil roh-roh para leluhur.
Adapun pihak-pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan upacara adalah: (1) para aparat Dusun Krajan; (2) beberapa kelompok kesenian yang ada di wilayah Alasmalang; (3) empat orang atau lebih yang nantinya akan menjadi kebo-keboan dan (4) warga masyarakat lainnya yang membantu menyiapkan perlengkapan upacara maupun menyaksikan jalannya upacara.
Jalannya Upacara
Satu minggu menjelang waktu upacara kebo-keboan tiba, warga masyarakat yang berada di Dusun Krajan mengadakan kegiatan gotong royong untuk membersihkan lingkungan rumah dan dusunnya. Selanjutnya, satu hari menjelang pelaksanaan upacara, para ibu bersama-sama mempersiapkan sesajen yang terdiri atas: tumpeng, peras, air kendi, kinang ayu, aneka jenang, inkung ayam dan lain sebagainya. Selain itu, dipersiapkan pula berbagai perlengkapan upacara seperti para bungkil, singkal, pacul, pera, pitung tawar, beras, pisang, kelapa dan bibit tanaman padi. Seluruh sesajen tersebut selain untuk acara selamatan, nantinya juga akan ditempatkan di setiap perempatan jalan yang ada di Dusun Krajan.
Pada malam harinya para pemuda menyiapkan berbagai macam hasil tanaman palawija seperti pisang, tebu, ketela pohon, jagung, pala gumantung, pala kependhem, pala kesimpar. Tanaman tersebut kemudian ditanam kembali di sepanjang jalan Dusun Krajan. Selain itu, mereka mempersiapkan pula bendungan yang nantinya akan digunakan untuk mengairi tanaman palawija yang ditanam.
Pagi harinya, sekitar pukul 08.00, diadakan upacara di Petaunan yang dihadiri oleh panitia upacara, sesepuh dusun, modin, dan beberapa warga masyarakat Krajan. Pelaksanaan upacara di tempat ini berlangsung cukup sederhana, yaitu hanya berupa kata sambutan dari pihak panitia upacara, kemudian dilanjutkan dengan doa yang dipimpin oleh modin dan diakhiri dengan makan bersama.
Selanjutnya, para peserta upacara yang terdiri dari para sesepuh dusun, seorang pawang, perangkat dusun, dua pasang kebo-keboan (setiap kebo-keboan berjumlah dua orang), para pembawa sesajen, pemain musik hadrah, pemain barongan dan warga Dusun Krajan akan melakukan pawai ider bumi mengeliling Dusun Krajan. Pawai ini dimulai di Petaunan kemudian menuju ke bendungan air yang berada di ujung jalan Dusun Krajan. Sesampainya di bendungan, jagatirta (petugas pengatur air) akan segera membuka bendungan sehingga air mengalir ke sepanjang jalan dusun yang sebelumnya telah ditanami tanaman palawija oleh para pemuda. Sementara, para peserta upacara segera menuju ke areal persawahan milik warga Dusun Krajan. Di persawahan inilah kebo-keboan tersebut memulai memperlihatkan perilakunya yang mirip seperti seekor kerbau yang sedang membajak atau berkubang di sawah. Pada saat kebo-keboan sedang berkubang, sebagian peserta upacara segera turun ke sawah untuk menanam benih padi.
Setelah benih tertanam, para peserta yang lain segera berebut untuk mengambil benih padi yang baru ditanam tersebut. Benih-benih yang baru ditanam itu dipercaya oleh warga masyarakat Dusun Krajan dapat dijadikan sebagai penolak bala, mendatangkan keberuntungan serta membawa berkah. Pada saat para peserta memperebutkan benih tersebut, para kebo-keboan yang sebelumnya telah dimantrai oleh pawang sehingga menjadi trance, akan segera mengejar para pengambil benih yang dianggap sebagai pengganggu. Namun, para kebo-keboan itu tidak sampai mencelakai para pengambil benih karena sang pawang selalu mengawasi setiap geraknya. Setelah dirasa cukup, maka sang pawang akan menyadarkan kebo-keboan dengan cara mengusapkan pitung tawar pada bagian kepalanya. Setelah itu, mereka kembali lagi ke Petaunan.
Sebagai catatan, sebelum tahun 1965 pelaksanaan ider bumi tidak hanya mengelilingi sepanjang jalan Dusun Krajan saja, melainkan juga ke arah batu besar yang ada di empat penjuru angin yang diawali dengan berjalan ke arah timur menuju Watu Lasa, kemudian ke barat menuju Watu Karang, lalu ke selatan menuju Watu Gajah dan ke arah utara menuju Watu Naga.
Sesampainya di Petaunan, peserta upacara kembali ke rumah masing-masing sambil membawa padi yang tadi mereka ambil di sawah untuk dijadikan sebagai penolak bala dan juga sekaligus pembawa berkah. Malam harinya, mereka kembali lagi ke Petaunan untuk menyaksikan pagelaran wayang kulit dengan lakon Sri Mulih yang mengisahkan tentang Dewi Sri. Lakon tersebut dipentaskan dengan harapan agar warga Dusun Krajan mendapatkan hasil panen padi yang melimpah. Dan, dengan dipentaskannya kesenian wayang kulit di Petaunan itu, maka berakhirlah seluruh rentetan dalam upacara kebo-keboan di Dusun Krajan.
Nilai Budaya
Upacara kebo-keboan di Dusun Krajan, Desa Alasmalang, Kabupaten Banyuwangi, jika dicermati secara mendalam, mengandung nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai itu antara lain adalah: kebersamaan, ketelitian, gotong royong, dan religius. Nilai kebersamaan tercermin dari berkumpulnya sebagian besar anggota masyarakat dalam suatu tempat, makan bersama dan doa bersama demi keselamatan bersama pula. Ini adalah wujud kebersamaan dalam hidup bersama di dalam lingkungannya (dalam arti luas). Oleh karena itu, upacara ini mengandung pula nilai kebersamaan. Dalam hal ini, kebersamaan sebagai komunitas yang mempunyai wilayah, adat-istiadat dan budaya yang sama.
Nilai ketelitian tercermin dari proses upacara itu sendiri. Sebagai suatu proses, upacara memerlukan persiapan, baik sebelum upacara, pada saat prosesi, maupun sesudahnya. Persiapan-persiapan itu, tidak hanya menyangkut peralatan upacara, tetapi juga tempat, waktu, pemimpin, dan peserta. Semuanya itu harus dipersiapkan dengan baik dan seksama, sehingga upacara dapat berjalan dengan lancar. Untuk itu, dibutuhkan ketelitian.


Nilai kegotong-royongan tercermin dari keterlibatan berbagai pihak dalam penyelenggaraan upacara. Mereka saling bantu demi terlaksananya upacara. Dalam hal ini ada yang membantu menyiapkan makanan dan minuman, menjadi pemimpin upacara, dan lain sebagainya.
Nilai religius tercermin dalam doa bersama yang ditujukan kepada Tuhan agar mendapat perlindungan, keselataman dan kesejahteraan dalam menjalani kehidupan.

Sabtu, 19 Juni 2010

Gandrung Banyuwangi Riwayatmu Kini

Siapa yang tidak kenal Banyuwangi. Selain terkenal dengan legenda sang raja mahasakti Prabu Minak Jinggo (sebutan lain Raja Bre Wirabumi) pada era Majapahit, kabupaten di paling ujung timur Pulau Jawa itu terkenal dengan sebutan Kota Gandrung
Penggunaan gandrung sebagai ikon Banyuwangi merupakan bukti seni tari itu dahulu sangat populer. Bahkan, ia lebih populer dari sang legenda Minak Jinggo atau Kerajaan Blambangan. Sampai era 1980-an, gandrung masih eksis di Banyuwangi meskipun ditentang di beberapa tempat.
Gandrung adalah seni tari yang rancak. Penari gandrung dituntut bisa menggerakkan tubuh mengikuti alunan musik yang kadang melambat dan cepat. Kecepatan tempo musik ditentukan gendang, bonang, dan ketukan besi berbentuk segitiga. Tempo lambat ditentukan biola.
Di Jawa Barat, gandrung bisa disejajarkan dengan tari jaipong. Tubuh penari meliuk-liuk dan harus ndengkek, yakni tubuh bagian atas agak merunduk ke depan dan pinggul ke bawah ditonjolkan ke belakang. Sangat sulit, tetapi itulah keunikan gandrung.
Selain itu, penari juga dituntut bisa menggerakkan bola mata, hampir sama dengan tari-tarian Bali. Bisa dikatakan gandrung Banyuwangi merupakan perpaduan antara seni Bali dan Jawa. Maka, ada pepatah kebudayaan Banyuwangi mewakili dua kebudayaan besar: Jawa dan Bali. Akulturasi itu termanifestasikan dalam bentuknya sendiri, yakni budaya Banyuwangi. Perspektif negatif
Seni tari dan bentuk-bentuk lain kesenian pada dasarnya merupakan sebuah manifestasi kebudayaan yang netral. Meskipun lahirnya sebuah kesenian selalu berkaitan dengan sebuah peradaban, pada dasarnya ia tidak terikat dengan ideologi mana pun. Kesenian berbeda dengan ideologi. Kesenian hanya merepresentasikan sebuah ideologi tanpa berusaha membenturkan perbedaan yang ada. Perbedaan dalam kesenian justru akan memperkaya khazanah seni. Ini berbeda dengan ideologi yang berusaha membenturkan setiap perbedaan.
Namun kenyataannya, dahulu gandrung selalu diidentikkan dengan Islam abangan. Islam abangan adalah sebuah stereotip negatif terhadap orang Islam yang tidak menjalankan syariah Islam dengan benar. Oleh karena itu, hanya orang-orang tertentu yang berani menggelar hajatan gandrung, misalnya perangkat desa atau penggede kabupaten.
Stereotip tersebut sangat berkaitan dengan islamisasi di Banyuwangi waktu itu. Oleh karena itu, sejatinya telah terjadi pertarungan identitas antara Islam dan gandrung. Meskipun islamisasi di Banyuwangi tidak puritan, beberapa kiai dan ulama melihat gandrung tidak cocok dengan nilai-nilai Islam. Oleh sebab itu, ada usaha memisahkan gandrung dari masyarakat dengan cara memberikan label "seni yang tidak islami". Lalu, mengapa dahulu gandrung identik dengan kesenian yang tidak islami?
Salah satunya, dahulu beberapa pesta gandrungan (istilah bagi pesta yang menggelar gandrung) menyediakan minuman beralkohol sejenis bir. Biasanya penonton laki-laki akan minum bir jika ingin menyawer, yakni menemani penari dan memberi tips kepada penari bersangkutan sebelum ia turun dari panggung.
Cara memberi tipsnya cukup unik, yakni menyelipkan uang ke sela- sela bra sang penari. Memang penari gandrung pada umumnya perempuan dengan pakaian yang sedikit terbuka di dada bagian atas. Itulah yang menjadi pemicu untuk melarang pertunjukan gandrung. Saweran dinilai bertentangan dengan norma agama karena mengandung unsur pornografi. Sementara minuman beralkohol jelas dilarang di dalam Islam. Jika menggelar gandrungan, orang awam harus bersiap menerima sanksi sosial berupa pengucilan sosial dari masyarakat. Akankah musnah?
Lain dahulu lain sekarang. Kini gandrung yang telanjur menjadi ikon Banyuwangi terancam hilang. Tidak ada lagi gandrungan di masyarakat. Hanya Pemerintah Kabupaten Banyuwangi yang masih eksis menggelar gandrungan. Namun, jumlah pementasannya pun tidak banyak.
Sebenarnya ada beberapa sanggar tari gandrung di Banyuwangi, tetapi kelangsungannya terancam punah. Selain minimnya minat kawula muda untuk mempelajarinya, stereotip gandrung sebagai seni yang tidak islami telanjur membuatnya mati suri. Padahal, seharusnya gandrung bisa dijadikan salah satu obyek wisata andalan di Banyuwangi. Ia layak disejajarkan dengan tari-tarian Bali yang eksotis atau jaipong Sunda.
Akankah Gandrung mengalami nasib yang sama dengan kebudayaan daerah lain? Ludruk di Surabaya dan tayub di Nganjuk sudah kembang kempis dimakan zaman. Adapun beberapa kesenian daerah lain akan dilarang pemerintah setempat karena dianggap melanggar undang-undang.
Saya hanya berharap gandrung tidak punah seperti macan kumbang (Javanese tiger). Salah satu cara melestarikannya adalah kearifan dari semua pihak untuk memahami bahwa gandrung adalah warisan budaya yang harus dipertahankan. Ia tidak harus dibenturkan dengan ideologi atau paham lain karena tidak ada ideologi yang bertentangan dengan kesenian

Rabu, 24 Februari 2010

REOG PONOROGO


Reog adalah salah satu kesenian budaya yang berasal dari Jawa Timur bagian barat-laut dan Ponorogo dianggap sebagai kota asal Reog yang sebenarnya. Gerbang kota Ponorogo dihiasi oleh sosok warok dan gemblak, dua sosok yang ikut tampil pada saat reog dipertunjukkan. Reog adalah salah satu budaya daerah di Indonesia yang masih sangat kental dengan hal-hal yang berbau mistik dan ilmu kebatinan yang kuat.

SEJARAH

Pada dasarnya ada lima versi cerita populer yang berkembang di masyarakat tentang asal-usul Reog dan Warok  namun salah satu cerita yang paling terkenal adalah cerita tentang pemberontakan Ki Ageng Kutu, seorang abdi kerajaan pada masa Bhre Kertabhumi, Raja Majapahit terakhir yang berkuasa pada abad ke-15. Ki Ageng Kutu murka akan pengaruh kuat dari pihak rekan Cina rajanya dalam pemerintahan dan prilaku raja yang korup, ia pun melihat bahwa kekuasaan Kerajaan Majapahit akan berakhir. Ia lalu meninggalkan sang raja dan mendirikan perguruan dimana ia mengajar anak-anak muda seni bela diri, ilmu kekebalan diri, dan ilmu kesempurnaan dengan harapan bahwa anak-anak muda ini akan menjadi bibit dari kebangkitan lagi kerajaan Majapahit kelak. Sadar bahwa pasukannya terlalu kecil untuk melawan pasukan kerajaan maka pesan politis Ki Ageng Kutu disampaikan melalui pertunjukan seni Reog, yang merupakan "sindiran" kepada Raja Bra Kertabumi dan kerajaannya. Pagelaran Reog menjadi cara Ki Ageng Kutu membangun perlawanan masyarakat lokal menggunakan kepopuleran Reog.

Topeng barong reog yang dipakai sebagai atraksi penutup.

Dalam pertunjukan Reog ditampilkan topeng berbentuk kepala singa yang dikenal sebagai "Singa Barong", raja hutan, yang menjadi simbol untuk Kertabumi, dan diatasnya ditancapkan bulu-bulu merak hingga menyerupai kipas raksasa yang menyimbolkan pengaruh kuat para rekan Cinanya yang mengatur dari atas segala gerak-geriknya. Jatilan, yang diperankan oleh kelompok penari gemblak yang menunggangi kuda-kudaan menjadi simbol kekuatan pasukan Kerajaan Majapahit yang menjadi perbandingan kontras dengan kekuatan warok, yang berada dibalik topeng badut merah yang menjadi simbol untuk Ki Ageng Kutu, sendirian dan menopang berat topeng singabarong yang mencapai lebih dari 50kg hanya dengan menggunakan giginya. Populernya Reog Ki Ageng Kutu akhirnya menyebabkan Kertabumi mengambil tindakan dan menyerang perguruannya, pemberontakan oleh warok dengan cepat diatasi, dan perguruan dilarang untuk melanjutkan pengajaran akan warok. Namun murid-murid Ki Ageng kutu tetap melanjutkannya secara diam-diam. Walaupun begitu, kesenian Reognya sendiri masih diperbolehkan untuk dipentaskan karena sudah menjadi pertunjukan populer diantara masyarakat, namun jalan ceritanya memiliki alur baru dimana ditambahkan karakter-karakter dari cerita rakyat Ponorogo yaitu Kelono Sewondono, Dewi Songgolangit, and Sri Genthayu.

Versi resmi alur cerita Reog Ponorogo kini adalah cerita tentang Raja Ponorogo yang berniat melamar putri Kediri, Dewi Ragil Kuning, namun ditengah perjalanan ia dicegat oleh Raja Singabarong dari Kediri. Pasukan Raja Singabarong terdiri dari merak dan singa, sedangkan dari pihak Kerajaan Ponorogo Raja Kelono dan Wakilnya Bujanganom, dikawal oleh warok (pria berpakaian hitam-hitam dalam tariannya), dan warok ini memiliki ilmu hitam mematikan. Seluruh tariannya merupakan tarian perang antara Kerajaan Kediri dan Kerajaan Ponorogo, dan mengadu ilmu hitam antara keduanya, para penari dalam keadaan 'kerasukan' saat mementaskan tariannya [3] .

Hingga kini masyarakat Ponorogo hanya mengikuti apa yang menjadi warisan leluhur mereka sebagai pewarisan budaya yang sangat kaya. Dalam pengalamannya Seni Reog merupakan cipta kreasi manusia yang terbentuk adanya aliran kepercayaan yang ada secara turun temurun dan terjaga. Upacaranya pun menggunakan syarat-syarat yang tidak mudah bagi orang awam untuk memenuhinya tanpa adanya garis keturunan yang jelas. mereka menganut garis keturunan Parental dan hukum adat yang masih berlaku.

PEMENTASAN SENI REOG

Reog modern biasanya dipentaskan dalam beberapa peristiwa seperti pernikahan, khitanan dan hari-hari besar Nasional. Seni Reog Ponorogo terdiri dari beberapa rangkaian 2 sampai 3 tarian pembukaan. Tarian pertama biasanya dibawakan oleh 6-8 pria gagah berani dengan pakaian serba hitam, dengan muka dipoles warna merah. Para penari ini menggambarkan sosok singa yang pemberani. Berikutnya adalah tarian yang dibawakan oleh 6-8 gadis yang menaiki kuda. Pada reog tradisionil, penari ini biasanya diperankan oleh penari laki-laki yang berpakaian wanita. Tarian ini dinamakan tari jaran kepang, yang harus dibedakan dengan seni tari lain yaitu tari kuda lumping. Tarian pembukaan lainnya jika ada biasanya berupa tarian oleh anak kecil yang membawakan adegan lucu.

Setelah tarian pembukaan selesai, baru ditampilkan adegan inti yang isinya bergantung kondisi dimana seni reog ditampilkan. Jika berhubungan dengan pernikahan maka yang ditampilkan adalah adegan percintaan. Untuk hajatan khitanan atau sunatan, biasanya cerita pendekar,

Adegan dalam seni reog biasanya tidak mengikuti skenario yang tersusun rapi. Disini selalu ada interaksi antara pemain dan dalang (biasanya pemimpin rombongan) dan kadang-kadang dengan penonton. Terkadang seorang pemain yang sedang pentas dapat digantikan oleh pemain lain bila pemain tersebut kelelahan. Yang lebih dipentingkan dalam pementasan seni reog adalah memberikan kepuasan kepada penontonnya.

Adegan terakhir adalah singa barong, dimana pelaku memakai topeng berbentuk kepala singa dengan mahkota yang terbuat dari bulu burung merak. Berat topeng ini bisa mencapai 50-60 kg. Topeng yang berat ini dibawa oleh penarinya dengan gigi. Kemampuan untuk membawakan topeng ini selain diperoleh dengan latihan yang berat, juga dipercaya diproleh dengan latihan spiritual seperti puasa dan tapa.

KONTROVERSI

Tarian sejenis Reog Ponorogo yang ditarikan di Malaysia dinamakan Tari Barongan. Tarian ini juga menggunakan topeng dadak merak, yaitu topeng berkepala harimau yang di atasnya terdapat bulu-bulu merak. Deskripsi dan foto tarian ini ditampilkan dalam situs resmi Kementrian Kebudayaan Kesenian dan Warisan Malaysia.

Kontroversi timbul karena pada topeng dadak merak di situs resmi tersebut terdapat tulisan "Malaysia", dan diakui sebagai warisan masyarakat dari Batu Pahat, Johor dan Selangor, Malaysia. Hal ini memicu protes berbagai pihak di Indonesia, termasuk seniman Reog asal Ponorogo yang menyatakan bahwa hak cipta kesenian Reog telah dicatatkan dengan nomor 026377 tertanggal 11 Februari 2004, dan dengan demikian diketahui oleh Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia. Ditemukan pula informasi bahwa dadak merak yang terlihat di situs resmi tersebut adalah buatan pengrajin Ponorogo. Ribuan seniman Reog sempat berdemonstrasi di depan Kedutaan Malaysia di Jakarta. Pemerintah Indonesia menyatakan akan meneliti lebih lanjut hal tersebut.

Pada akhir November 2007, Duta Besar Malaysia untuk Indonesia Datuk Zainal Abidin Muhammad Zain menyatakan bahwa Pemerintah Malaysia tidak pernah mengklaim Reog Ponorogo sebagai budaya asli negara itu. Reog yang disebut “Barongan” di Malaysia dapat dijumpai di Johor dan Selangor, karena dibawa oleh rakyat Jawa yang merantau ke negeri tersebut